Panglima Polem




Dengan lenyapnya tanam paksa, perusahaan-perusahaan perkebuanan di Indonesia umumnya dipegang oleh pengusaha-pengusaha partikelir. Undang-undang agraria dan undang-undang Gula pada tahun 1870 memungkinkan pengusaha-pengusaha pertikelir berkembang dengan pesat. Pengusaha-pengusaha itu bukan sadja orang Belanda, tetapi djuga orang-orang asing lain seperti orang Inggris, Peranyjis, dan Amerika. Pendek kata modal asing mulai masuk ke Indonesia
Oleh sebab itu masa sesudah 1870 disebut djuga masa "liberal atau masa pintu terbuka", karena tjita-tjita orang-orang liberal Belanda tertjapai dan modal-modal asing bebas masuk ke Indonesia, Dengan sendirinja bangsa Indonesia tidak dibolehkan ikut dalam usaha-usaha itu, Bangsa Indonesia terus diperas dan hanja madjikan-madjikan sadja jang berganti.
Pada masa tanam paksa orang Indonesia dihisap oleh pemerintah Belanda setjara langsung, tetapi sesudak tahun 1870 jang menghisap ialah kapitalis-kapitalis asing.
Oleh karena itu banjak modal asing di Indonesia, maka pemerintah Belanda di Indonesia perlu mendjamin keamanan daerah-daerah di indonesia jang belum dikuasai benar-benar perlu ditundukkan . Jang mula-mula menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda sesudah tahun 1870 Atjeh.
Setelah terusan Suez dibuka pada tahun 1869, lalu lintas melalui selat malaka mendjadi ramai, kedudukan Atjeh mendjadi tambah penting, akan tetapi Belanda tidak bisa mengganggu Atjeh, karena Traktat London tahun 1824 mendjamin kedaulatan Atjeh. Agara dapat menguasai Atjeh, Belanda perlu mendekati Inggris. Pada tahun 1871, ditanda tanganilah Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda. Traktat itu memberikan kebebasan kepada Belanda untuk bertindak terhdap Atjeh. Sesudah itu, Belanda selelu mendesak supaja Atjeh mengekui kedaulatan Belanda, desakan-desakan Belanda itu ditolak oleh Atjeh.
Pada tahun 1873 dilantjarkan serangan jang pertama terhadap Atjeh. Dalam tahun itu djuga diadakan serangan-serangan jang ke 2 jang dipimpin oleh Van Swieten, Ibu kota Atjeh dapat dikuasai dan sedjak itu dinamai Kota Radja. Meskipun Kota Radja sudah diduduki belumlah berarti seluruh Atjeh sudah dikuasaiBelanda. Pada waktu itu terbuktilah, bahwa kesultanan Atjeh hanja berdaulat keluar. Jang memegang kekuasaan sesungguhnja aalah Hulubalang-hulubalang, Kepala-kepal kampung dan 'Alim Ulama. Pada umumnja orang Atjeh tidak suka orang Belanda jang dianggapnja orang "kafir". Perlawanan berlangsung terus. Hulubalang-hulubalang jang terkenal jang melawan Belanda Panglima Polem dan Teuku Ibrahim

Sumber: Sedjarah tanah airku untuk SR di seluruh Indonesia, Soemardjo, Penerbit/Toko Buku "PELADJAR" C.V, Djalan Waringin Bandung, Djilid II, kl.VI, Tjetakan ke VI, Surat Dept. P.D. dan K. no: 66/U.P.I.K./62 TGL. 8 Mei 1962, Izin Paperda no.:031/Sementara/60, halaman 28 s/d 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar