Kira-kira tahun 1825 seluruh lapisan masyarakat di Jogjakarta tidak senang kepada Belanda. Bangsawan tidak senang karena tidak boleh menjewakan tanah. Menjewakan tanah ialah satu-satunja penghasilan mereka. Sedjak masa pemerintahan Daendels bupati-bupatipun merasa kurang senang, karena mereka hanja digadji dan kurang menerima penghasilan tambahan.
Karena padjak-padjak terlampau berat dan karena pengangguran jang timbul sebab kaum bangsawan tidak boleh menjewakan tanah, rakjatpun merasa gelisah pada masa itu. Para 'alim ulamapun pada masa itu tidak senang, karena pengaruh-pengaruh barat jang kurang baik meradjalela.
Keadaan sematjam itu sewaktu-waktu dapat meletus menjdjadi pergolakan umum, bila ada seorang pemimpin jang berani bertindak. orang jang ditunggu-tunggu itu ialah Dipanegara. Dipanegara putra Hamengkubuwono III dari seorang selir. Hidupnja sangat sederhana dan Ia taat kepada agama. Setelah Hamengku Buwono IV mangkat pada tahun 1822, beliau mendjadi pengasuh Hamengku Buwono V jang masih baji. Dalam masa itu Belanda terlalu banjak tjampur tangan dalam urusan pemerintahan di Keraton Jogjakarta. Penghulu jang seharusnja diangkat oleh sultan atau walinja, pada waktu itu pengangkatannja dilakukan oleh Danuredjo seorang patih kaki tangan Belanda. Keraton sudah kemasukan kebiasaan jang kurang baik seperti minum-minuman keras dan berpakaian setjara barat, hal-hal jang tidak disukai oleh Dipanegara.
Karena hal-hal itu, Dipanegara tidak mau berkundjung ke Keraton. Tindakan itu dianggap Belanda sebagai tindakan permusuhan.
Untuk membangkitkan permusuhan, Belanda memerintahkan Danuredjo membuat djalan Jogjakarta-Magelang melalui tanah Dipanegara di Tegalredjo. Dengan sendirinja Dipanegara atau anak buahnja merintangi pembuatan djalan itu.
Achirnja Belanda menjerbu tempat kediaman Dipanegara (1825). Dengan demikian perang berkobar. banjak penduduk jang membantu Dipanegara dalm perlawanannja itu. Mula-mula beliau pergi ke Selarong disebelah selatan Jogjakarta. Selarong direbut oleh Belanda, kemudian Plered bekas keraton Mataram dahulu.
Waktu melawan Belanda Dipanegara mempergunakan taktik gerilja, disamping sendjata tadjam, banjak djuga digunakan bedil dan mesiu. Pembantu-pembantunja jang utama ialah Pangeran Mangkubumi, Kiai Kadja dan Sentot. Dipanegara tidak berusaha menjerbu kota-kota jang dikuasai Belanda. Tetapi daerah luar kota di Jogjakarta, di Magelang dan di Surakarta dibawah kekuasaannja. Pengikut-pengikutnja terdapat djuga di Bodjonegor dan Demak.
Dalam melawan Dipanegara belanda mempergunakan djuga pasukan-pasukan djahat disamping memakai serdadu bajaran biasa, djendral jang kemudian diserahi pimpinan oleh Belanda melawan Dipanegara ialah De Kock. untuk melawan pasukan-paasukan Dipanegara dipakainja Bentengstelsel (1827) ; artinja kalau suatu daerah diduduki Belanda maka didirikanlah benteng supaja daerah disekitarnja dapat diawasi. Bentengstelsel itu sangant mahal, tetapi hasilnjapun ada. Bertambah lama pasukan-pasukan Dipanegara bertambah sukar bergerak. Pada tahun 1828, djadi setahun sesudah didjalankan Bentengstelsel, daerah jang benar-benar dikuasai Dipanegara hanja Kulon-Progo (daerah disebelah Barat Sungai Progo ) sadja.
Kedudukan Dipanegara bertambah sulit, sesudah Kiai Madja dan Sentot menjerah kepada Belanda pada tahun 1829. Pada tahun 1830 beliau diundang berunding di Magelang. Tetapi setelah perundingan itu gagal, beliau tidak diperbolehkan pulang oleh De Kock. Keris beliaupun diminta sebagai tanda menjerah. Beliau kemudian dibawa ke Betawi, kemudian ke Menado dan achirnja ke Makasar. Dikota ini beliau mangkat pada tahun 1855.
Dalam peperangan Dipanegara itu banjak kerugian jang diderita Belanda. Dalam perang itu, 15 ribu orang serdadu Belanda tewas. Biaja jang harus dikeluarkan Belanda 20 juta rupiah belum lagi terhitung kerugian-kerugian pada perkebunan-perkebunan jang rusak karena perang.
Setelah perang Dipanegara selesai, Belandapun bertindak terhadap Paku Buwono VI. Susuhunan itu membantu Belanda pada waktu menghadapi Dipanegara. Akan tetapi setelah perang selesai Belanda tidak berterimakasih kepadanja bahkan mengurangi luas daerah Suakarta. Paku Buwono dengan sendirinja sakit hati dan pergi keluar kota. Beliau dikedjar oleh Belanda, kemudian ditangkap dan diasingkan ke Ambon.
Sumber: Sedjarah tanah airku untuk SR di seluruh Indonesia, Soemardjo, Penerbit/Toko Buku "PELADJAR" C.V, Djalan Waringin Bandung, Djilid II, kl.VI, Tjetakan ke VI, Surat Dept. P.D. dan K. no: 66/U.P.I.K./62 TGL. 8 Mei 1962, Izin Paperda no.:031/Sementara/60, halaman 17 s/d 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar